Kamis, 23 September 2021

Balqi dan Bagas Sang Petualang

Oleh: Iqbal Maulana

Iqbal Maulana dan Bagas sang petualang
Dusun Cihunjuran, Mandalawangi (19/09) Balqi yang tengah asyik berswafoto, dari kejauhan Bagas yang sedang asyik menggiring ikan masuk ke dalam perangkap jebakannya. | Dokpri: Iqbal Maulana

Gelap gulita, hanya cahaya rembulan
Semilir angin berhembus, menyapa badan
Suara lirih terdengar dari kejauhan
Kudatangi, kupeluk dan kurangkul untuk menenangkan.

Pagi buta kubuka mata, kulipat selimut beranjak dari tempat tidur
Aku sambangi sumber titra amarta, kuusapkan wajah dan anggota tubuh dengan syukur 
Hamparan kain panjang menuju barat, sedikit kubelokkan ke arah barat laut
Kuberserah memohon petunjuk-Nya.

Realita hidup yang tak selalu sesuai ekspektasi
Memutar otak dan raga, agar dapat berjuang mewujudkan imajinasi
Behalusinasi tak padah layaknya seorang novelis
Menghamburkan aksara, menuai proaktif jiwa insani 

Tempat Persinggahan

Malam itu Balqi dan keluarganya bergegas mengendarai kuda besi untuk menuju kota Pandeglang. Tujuannya adalah untuk bersilaturahmi ke rumah saudara. Malam itu pukul 23.00 WIB ia tiba di kota Serang, untuk transit. Dan Balqi pun singgah di pemukiman warga sekitar, untuk sekadar  bermalam meluruskan tubuh yang lelah karena berkendara.

Suara hening, angin semilir berhembus menemani malam yang sunyi sepi. Malam itu Balqi tidak dapat tertidur, meski tubuhnya lelah. Malam itu, Balqi mengisi waktu istirahatnya dengan berbincang hangat bersama warga sekitar sembari meluruskan tubuhnya yang terasa remuk, bagaikan ditimpa beban yang berat.

"Bapak, tumben malam-malam begini berkunjung ke desa kami?" ucap warga yang sedang melakukan ronda malam bersama dengan dua rekannya yang memakai sarung dan membawa senter ala pedesaan.

"Iya pak, kami sengaja bermalam di sini. Sebab, besok pagi kami harus melakukan perjalanan kembali menuju barat daya, Pandeglang. Perjalananan yang cukup jauh kami tempuh. Sebab, jika kami berangkat dari rumah esok hari, khawatir tidak dapat tiba tepat waktu". pungkas Balqi, menahan rasa sakit pada kaki yang digunakan untuk menginjak pedal gas dan rem roda empat.

"Memang Mas-nya tinggal di mana?"
"Saya tinggal di kota Tangerang, Pak"
"Wah, lumayan jauh juga iya. Dekat dengan stasiun Pasar Anyar, Mas?"
"Dekat, Pak. 15 menit dari tempat tinggal kami. Memangnya kenapa pak? Bapak punya saudara di sana?"
"Bukan, tapi di sana tempat saya mengadu nasib, waktu masih muda. Dulu stasiun itu amatlah ramai dan menjadi moda transportasi satu-satunya yang menghubungkan dengan ibu kota Jakarta" Pak Amin berkisah menelisik memori masa lampau ketika masih bekerja di Tangerang dan Jakarta.

Rasa kantuk pun tidak terelakan. Balqi tidak sadarkan diri di tengah serunya percakapan antara ibunda, Ibu Saroh dan Pak Amin.

"Waduuh, Mas Balqi tertidur" ucap Pak Amin tercengang
"Sssssttt ..., Biarkan Pak Amin, mungkin dia lelah karena menyetir mobil dari tadi sore" ujar ibunda.
"Iya, biarkan saja, biar Mas Balqi beristirahat saja, jangan diganggu" sahut Ibu Saroh sambil membawakan secangkir kopi dan teh hangat.
"Owalah ..., terima kasih Ibu Saroh, tidak perlu repot-repot. Kami hanya menumpang istirahat saja"
"Tidak merepotkan, Bu. Ayo silakan diminum teh hangatnya. Udara malam ini tidak sedang bersahabat.  Anginnya cukup dingin menusuk tulang. Biasanya jam segini udara cukup hangat" lanjut Ibu Saroh menanggapi perkataan Ibunda Balqi.

Waktu menunjukkan pukul 02.30 WIB. Udara malam semakin menusuk tulang. Ibunda Balqi mengambil jaket yang ada di dalam tas dan dikenakan di tubuhnya yang mulai menggigil karena angin malam.

Balqi tersadar, dan melihat area sekitar teras telah sepi. Pak Amin dan kedua teman rondanya sedang terlelap tidur.
Ibunda Balqi tengah menyender di dinding ruang tamu, dengan jaket hitam, mata terpejam lesu, menahan lelahnya perjalanan.

Balqi pun beranjak dari tempat berbaring. Dia berjalan menyusuri pemukiman warga yang sepi, hening, hanya suara burung Cicit dan sesekali suara kokok ayam jago yang bersahutan. Ia berjalan selangkah demi selangkah menuju Surau untuk menjalankan rutinitas paginya.

Waktu fajar telah tiba, Balqi masih khusyu dengan butiran tasbih yang ia putar melawan arah jarum jam. Seorang Bapak menghampiri Balqi dan menepuk pundak Balqi seraya berucap "Dek, ayo tahrim menyambut waktu subuh." "Silakan, Pak. Bapak saja,  saya di sini hanya tamu" sahut Balqi yang masih memutar tasbih hitam, hampir sampai pada akhir putaran angka seratus. 

Akhirnya sang Bapak pun mengiyakan dan melanjutkan untuk membacakan kalimat toyibah pagi dan petang (bacaan tahrim). Lima belas menit berlalu, tibalah waktu fajar dan dikumandangkannya adzan subuh. Balqi bergegas menuju tempat wudlu untuk memperbaharui wudlunya.

Waktu menunjukkan pukul 05.05 WIB. Balqi kembali menuju rumah Pak Amin dan Ibu Saroh, ia dan ibunda izin pamit untuk melanjutkan perjalanannya. Pak Amin pun memberikan wejangan kepada Balqi untuk selalu berhati-hati dalam berkendara, tidak perlu terburu-buru, perlahan-lahan yang terpenting selamat sampai tujuan.

Balqi dan keluarga melanjutkan perjalanan menuju Pandeglang. Kabut putih menyelimuti jalan dan persawahan di sekitar jalan menuju tempat tujuan. Jalanan yang masih sepi, membuat perjalanan Balqi dan keluarga cukup lancar dan menyenangkan. Jarak tempuh normal bisa menghabiskan waktu 2-3 jam perjalanan. Karena pandemi dan jalanan lengang, akhirnya Balqi dapat sampai lokasi dalam  waktu tempuh 1 ½ jam  saja.

Pertemuan Balqi dan Bagas
Balqi mengajak dialog Bagas yang tengah beristirahat dalam pencarian ikan di kawasan persawahan Desa Mandalawangi (19/09/2021) | Dokpri: Iqbal Maulana.


Pertemuan Balqi dengan Bagas

Siang itu sekitar pukul 10.30 WIB. Balqi ingin me-refress pikirannya dari hiruk-pikuk jalanan ibu kota dan tugas pekerjaan yang tak kunjung selesai. Ia bersama dengan adiknya Helmy berjalan menyusuri jalan setapak di persawahan dekat dengan rumah saudaranya.

Dari kejauhan, Balqi melihat gelagat bocah kecil usia 9-10 tahun, ia tengah berputar-putar, berpindah, dari petak sawah satu ke petak sawah lainnya, sambil membawa sebuah jaring kecil yang terbuat dari benang kenur, jaring nelayan. Melihat tingkah laku yang tidak lazim tersebut, akhirnya Balqi mencoba untuk mendekati dan mengajak ia berdialog.

"Hallo, Dek. Siapa namamu? Sepertinya kamu sedang sibuk sekali iya?" ujar Balqi mencoba mendekati anak yang tengah menyerok sesuatu dari sudut petakan sawah satu ke petakan sawah lainnya. "Sedang apa kamu, Dek. Kenapa mondar mandir seperti itu?" lanjut pungkas Balqi kepada anak kecil tersebut.

"Iya Ka, nama saya Bagas. Saya sedang menggiring ikan supaya masuk ke jaring yang saya buat. Sebab, kalau tidak digiring ikannya tidak akan mau masuk ke jebakan" Bagas menjelaskan maksud mondar-mandirnya kepada Balqi.

"Oo, seperti itu. Kalo boleh tahu untuk apa ikan-ikan yang kau dapat ini?" tanya Balqi
"Ikan ini akan saya bawa ke pasar untuk saya jual, Ka" pungkasnya. "Berapa uang yang kamu terima dari menjual ikan ini? terus uangnya kamu gunakan untuk apa? kamu 'kan masih kecil" ujar Balqi mengulik rasa penasarannya.

"Kalo ikannya banyak, bisa sampai 50 ribu uang yang saya dapat, Ka. Dan uang hasil penjualan ini saya gunakan untuk kebutuhan sekolah, sisanya saya berikan ke Ibu, untuk membantu kebutuhan adik yang masih balita".

"Kamu, sekolah kelas berapa? di mana?"
"Saya sekolah kelas 4 di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Pandeglang. Itu sekolahnya, di ujung gang jalan" ucap Bagas, sambil menunjuk ke arah timur tepat ke letak geografis sekolahnya.

"Masya Alah ..., mandiri sekali kamu, Bagas. Orang tua kamu kerja apa?" 
"Ayah saya sebagai petani dan Ibu saya sebagai kuli cuci di desa seberang."
"Oo, kamu sudah lama melakukan kegiatan ini?" tanya Balqi
"Sejak saya duduk di bangku sekolah kelas 2 MI. Setiap hari Minggu, saya selalu ke sini untuk mencari ikan" jelasnya.
"Rajin sekali kamu, Dek. Kakak boleh bantu kamu tidak untuk mencari ikan?" pinta Balqi
"Boleh, Ka, ini jaringnya" Bagas mengizinkan Balqi untuk menggiring ikan-ikan menuju jebakan yang telah dibuat Bagas.

Balqi menikmati keindahan alam yang diciptakan Tuhan untuk setiap insan manusia. Rumput hijau, hamparan sawah yang luas, bebatuan sisa peninggalan zaman purbakala, pepohonan yang rindang mampu menarik perhatian siapa pun yang datang menjumpainya. | Dokpri: Iqbal Maulana.

Makna Bersyukur

Hari Ahad, hari yang sangat cerah, udara persawahan dengan senarai awan yang bergerak, bebatuan besar berwarna hitam, peninggalan zaman purbakala, menambah keeksotisan alam Pandeglang yang masih asri dan belum diketahui oleh khalayak. situs Cihunjuran, Mandalawangi.

Begitulah kisah inspiratif yang ditemui dalam perjalanan Balqi mengunjungi handai taulan di kampung Cihunjuran, Mandalawangi, Pandeglang, Banten.

Seperti apa pun kehidupan yang kita alami, pasti ada hikmah di balik itu semua. Jangan menyerah dan selalu bersyukur atas nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadamu.

Dalam QS. Ibrahim [14]: 7 menyebutkan bahwa, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur atas nikmat-Ku, maka akan Aku tambahkan nikmat kepadamu. Namun, apabila kamu kufur terhadap nikmat-ku, sesungguhnya adzab-Ku amatlah pedih."

Menurut Nur Faridah di dalam tulisannya yang di publish melalui media online Republika.co.id menyebutkan bahwa, cara paling efektif untuk melakukan syukur adalah dengan senantiasa menerima dan mau berbagi atas nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Sedangkan cara lain untuk dapat selalu bersyukur, yaitu dengan melihat orang yang berada di bawahnya (dibaca fakir miskin), dengan seperti itu maka, seseorang akan mampu mensyukuri dan menyadari atas nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadanya. 

Hal tersebut, sesuai dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang artinya "Praktik yang harus dilakukan oleh setiap muslim untuk bersyukur adalah dengan melihat orang yang berada di bawah (dalam hal harta), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu dapat menjadikanmu orang yang kufur atas nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepadamu." (HR. Bukhori Muslim).

Wallahua'lam bishowab.

0 komentar:

Posting Komentar